Jangan Tangisi Nisanku

Unduh <Jangan Tangisi Nisanku> gratis!

UNDUH

Bab [5] Terluka

Tanganku yang menggenggam ponsel refleks mengerat.

Dada kiriku kembali terasa nyeri dan sesak.

Ternyata di ponsel Arjuna, namaku bahkan tidak disimpan dengan nama khusus.

Aku menggigit bibirku. “Ini aku. Apa besok kamu ada waktu?”

Arjuna di seberang sana terdengar terdiam sejenak, lalu berkata dengan dingin, “Kalau ada perlu, langsung saja katakan.”

Suaraku terdengar berat dan teredam. “Besok aku harus operasi, dokter bilang harus ada tanda tangan dari keluarga. Kamu…”

Belum selesai aku bicara, tawa dingin Arjuna sudah terdengar dari seberang telepon.

“Maharani, kamu sekarang makin banyak akal-akalan, ya. Kamu nggak terima aku mengantar Maya ke rumah sakit? Sampai urusan ke rumah sakit pun kamu mau bersaing?”

Aku buru-buru menjelaskan, “Bukan begitu, aku benar-benar harus operasi, aku tidak bohong.”

Arjuna mendengus. “Kalau kamu memang sakit, kamu nggak mungkin tadi siang datang ke restoran untuk cari masalah dengan Maya.”

Aku seketika merasa tak berdaya. Semua penjelasan terasa sia-sia. Arjuna tidak pernah sekalipun percaya padaku.

Aku baru saja hendak mengatakan sesuatu lagi, ketika tiba-tiba terdengar suara manja Maya Sujiman dari telepon.

“Arjuna, lukaku sakit banget, nih… Tolong tiupin, dong.”

Dengan nada penuh sayang, Arjuna menjawab, “Iya, Sayang,” lalu bersiap menutup telepon.

Aku tidak menyerah. “Arjuna, kalau besok kamu tidak datang, aku bisa mati.”

Dari seberang sana, Arjuna mengucapkan setiap kata dengan penekanan, “Maharani Wijaya, di hatiku, kamu sudah mati sejak saat kamu meninggalkanku pergi ke luar negeri.”

Setelah mengatakan itu, dia langsung menutup telepon.

Aku terpaku di tempat, membeku.

Wajahku terasa dingin oleh air mata yang mengalir tanpa kusadari.

Entah berapa lama berlalu, seseorang memanggil dan menyadarkanku.

Saat membuka mata, di tengah pendar cahaya putih yang menyilaukan, tampak wajah Dokter Yusuf. Tatapan matanya yang serius di balik kacamata membuatku langsung sadar sepenuhnya.

“Kamu ini tidak tahu kondisi badanmu sendiri, ya? Malam-malam masih keluyuran, sampai pingsan di tangga darurat. Kalau bukan karena perawat menemukannya tepat waktu, nyawamu bisa melayang.”

Aku membuka mulut, tapi tak ada suara yang keluar.

Dokter Yusuf berdiri di samping tempat tidurku dengan stetoskop di tangannya. “Harus ada yang menjagamu. Masih banyak pemeriksaan yang harus dilakukan sebelum operasi.”

Dengan suara serak, aku menjawab, “Tidak perlu, Dokter Yusuf. Saya bisa sendiri.”

Dia menatapku dengan sorot khawatir.

Aku buru-buru meyakinkannya, “Saya janji akan lebih hati-hati setelah ini, sungguh. Untuk tanda tangan persetujuan operasi, saya juga bisa tanda tangan sendiri.”

Dokter Yusuf tidak lagi membujukku. “Saat kamu pingsan tadi, perawat sudah menghubungi keluargamu. Suamimu bilang akan segera ke sini.”

Aku tertegun.

Arjuna bilang akan datang?

Tidak mungkin.

Aku langsung bertanya, “Perawat menghubungi siapa? Suami saya sangat sibuk, sepertinya tidak akan ada waktu untuk datang.”

Dokter Yusuf menyimpan stetoskopnya dan berkata dengan santai, “Katanya dia kebetulan sedang di rumah sakit juga, menemani seseorang berobat, jadi dekat.”

“Lho, memangnya kamu tidak tahu?”

Aku mencoba tersenyum, tapi senyumku terasa sangat kaku dan pahit.

Bagaimana mungkin aku tidak tahu? Maya Sujiman, gadis malang itu, tersiram air panas karena ulahku, si wanita jahat ini. Tentu saja Arjuna akan menemaninya di rumah sakit.

Melihatku tidak menjawab, Dokter Yusuf tidak bertanya lebih jauh.

Dia menegakkan tubuhnya dan berpesan, “Luka di tanganmu sudah ditangani. Hati-hati jangan sampai kena air.”

Aku menunduk dan melihat perban persegi membalut lengan kiriku. Rasanya masih sedikit nyeri jika digerakkan.

Seorang perawat muda di sampingku menambahkan, “Mungkin tergores waktu Ibu jatuh tadi. Dokter Yusuf sendiri yang langsung menangani lukanya.”

Aku baru saja hendak mengucapkan terima kasih, tapi saat mengangkat kepala, punggung Dokter Yusuf sudah menghilang di ambang pintu.

“Maaf sudah merepotkan kalian.”

Aku mencoba tersenyum, tapi rasanya sulit sekali.

Perawat muda itu melambaikan tangannya. “Tidak apa-apa, Bu, yang penting Ibu sudah sadar. Nanti jangan lupa ambil darah dan lakukan pemeriksaan, ya. Sebentar lagi pasti ramai dan harus antre.”

Aku mengangguk.

Setelah perawat itu meninggalkan kamar, aku bersandar sejenak di tempat tidur sebelum bangkit untuk mengambil darah di pos perawat.

Aku sangat takut disuntik.

Dulu saat masih pacaran dengan Arjuna, aku pernah sakit dan harus tes darah. Setelah mendaftar, aku malah kabur. Dialah yang menarikku kembali ke ruang pengambilan darah.

Di lobi rumah sakit yang berbau disinfektan itu, aku bersembunyi di belakang punggungnya, tidak berani membuka mata.

Dengan sabar, Arjuna membujukku untuk duduk.

“Rani, kamu nggak bisa selamanya bersembunyi di belakangku. Beranilah sedikit. Setiap kesulitan, aku akan selalu ada di sisimu menemanimu.”

Jarum dingin itu menusuk pembuluh darahku. Aku menatap darah merah gelap yang mengalir dari jarum ke tabung sampel, mataku kosong tanpa emosi.

Arjuna, aku sudah tidak takut disuntik lagi.

Tapi, di mana kamu sekarang?

Setelah empat tabung darah diambil untuk diperiksa, aku turun ke lantai satu untuk melakukan pemeriksaan lainnya.

Saat sedang mengantre, Arjuna masuk dari pintu utama sambil menggandeng Maya Sujiman.

Pria tampan dan wanita cantik, pasangan yang serasi. Sulit untuk tidak memperhatikan mereka.

Arjuna tetap dengan wajah dinginnya, mengenakan setelan hitam tanpa dasi—gaya khasnya. Tangan Maya melingkar di lengannya, lalu jemari mereka bertautan erat di depan tubuhnya.

Maya mengenakan gaun berwarna terang, rambut ikalnya yang indah tergerai hingga ke pinggang. Tangannya yang terluka bakar membawa sebuah rantang makanan berwarna merah muda. Bekas kemerahan di lengannya masih terlihat jelas, membuatnya tampak sangat menyedihkan.

Aku menunduk melihat penampilanku sendiri. Untuk kemudahan selama di rumah sakit, aku hanya memakai satu set piyama abu-abu. Pakaianku kotor dan kusut karena pingsan di tangga semalam, dan aku belum sempat menggantinya.

Dalam diam, aku memalingkan wajah ke arah lain.

Namun, suara manja Maya tetap terdengar dari belakang.

“Arjuna, lihat deh, itu Kak Rani, kan?”

Sebelum aku sempat bereaksi, Maya sudah menghampiriku dengan langkah cepat dan menarik lenganku.

Luka di tangan kiriku langsung terasa nyeri. Refleks, aku mengibaskan tangannya.

Terdengar bunyi gedebuk yang keras. Rantang makanan itu jatuh ke lantai, dan bubur di dalamnya tumpah berceceran.

Lobi rumah sakit seketika hening. Aku berbalik, dan tatapanku langsung bertemu dengan wajah Arjuna yang gelap dan penuh amarah.

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya