Jangan Tangisi Nisanku

Unduh <Jangan Tangisi Nisanku> gratis!

UNDUH

Bab [3] Keputusan

Arjuna mengibaskan cek di tangannya, ekspresinya penuh dengan penghinaan.

Aku menatapnya dengan tatapan kosong, hatiku terasa seperti ditusuk ribuan jarum.

Saat wisuda sarjana dulu, Arjuna adalah lulusan terbaik penerima beasiswa prestasi. Di atas panggung, saat memberikan pidato perpisahan, ia mengumumkan di hadapan semua orang bahwa aku adalah kekasihnya. Di depan puluhan ribu pasang mata, ia melamarku.

Saat itu, dia adalah seorang CEO muda dengan masa depan tak terbatas. Bahkan sebelum lulus, ia sudah mendirikan perusahaannya sendiri. Meskipun memulai dari nol tanpa modal apa pun, masa depannya tampak begitu cerah.

Sedangkan aku, baru saja didiagnosis menderita kanker tulang. Bahkan untuk melihat matahari terbit esok hari pun terasa seperti sebuah kemewahan yang mustahil.

Aku sama sekali tidak ragu, jika aku jujur pada Arjuna tentang penyakitku, dia akan mengorbankan segalanya untuk mengobatiku, tanpa satu keluhan pun.

Tapi jika itu terjadi, seluruh masa depannya akan hancur.

Aku tahu, pengobatan membutuhkan biaya yang sangat besar, dan saat itu, uang adalah hal yang paling tidak dimiliki Arjuna.

Aku tidak ingin menjadi bebannya.

Cukup aku saja yang tenggelam dalam kegelapan ini sendirian.

Maka, aku menolak lamarannya, lalu pergi ke luar negeri untuk berobat.

Tapi semua orang mengira aku meremehkannya yang miskin, menganggapku mata duitan yang lebih memilih pergi bersama anak orang kaya ke luar negeri.

Bahkan Arjuna sendiri berpikir bahwa ketulusan yang ia berikan sepenuh hati hanya berbalas sebuah gelembung rapuh yang cuma indah di menara gading kampus.

Di matanya, aku adalah serigala tak tahu terima kasih yang hanya memikirkan keuntungan dan tidak mau menemaninya melewati masa-masa sulit.

Itulah sebabnya, setelah aku kembali, ia melemparkan uang 10 miliar rupiah padaku, memintaku menikahinya.

Saat itu, penyakitku kambuh. Biaya pengobatan sangat mahal. Demi bisa terus berobat, aku menerima uang itu sebagai mahar, dan sejak saat itu, aku harus menahan hinaannya setiap hari.

Tapi sekarang, hanya agar aku mau mengucapkan maaf pada Maharani, dia dengan entengnya menyodorkan cek senilai 20 miliar.

Rupanya di mata Arjuna, harga diri Maharani jauh lebih berharga daripada nyawaku.

Rasa sakit di dadaku menyatu, menusuk hingga ke sumsum tulang.

Aku tersenyum getir. Kata orang, kanker tulang adalah penyakit paling menyakitkan di dunia. Ternyata, jika dibandingkan dengan sakit hati, rasanya tidak ada apa-apanya.

Orang-orang di sekitar semakin ramai berkerumun, menatapku dengan pandangan antara meremehkan dan mencemooh.

Untuk sesaat, aku bahkan berpikir untuk menerima cek 20 miliar itu.

Pengobatanku selanjutnya masih butuh banyak biaya, 200 juta rupiah jelas tidak akan cukup.

Dengan 20 miliar ini, setidaknya untuk beberapa waktu ke depan, aku tidak perlu khawatir soal biaya pengobatan.

Bukankah Arjuna hanya ingin menghinaku?

Mungkin di dalam hatinya, penghinaan semacam ini tidak ada apa-apanya dibandingkan rasa malu yang ia rasakan saat lamarannya kutolak di hadapan puluhan ribu orang.

Aku perlahan bangkit berdiri. Melihat gerakanku, Maharani menyunggingkan senyum sinis di sudut bibirnya.

Tepat saat aku hendak membuka mulut, sebuah suara pria yang tenang terdengar dari arah pintu, "Luka bakar seharusnya segera disiram dengan air mengalir. Kompres es seperti itu tidak akan banyak membantu, malah bisa meninggalkan bekas luka. Saya dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, saya tidak akan membohongi Anda."

Aku menoleh ke arah sumber suara. Kemeja putihnya licin tanpa satu pun kerutan, dipadukan dengan celana bahan hitam, membuatnya terlihat bersih dan ramah.

"Bapak, kalau memang begitu khawatir dengan kondisi Ibu ini, sebaiknya cepat bawa dia ke rumah sakit."

Mendengar ucapannya, orang-orang di sekitar mulai ikut berkomentar.

"Betul itu, cepat ke rumah sakit saja. Dengar kata dokter, jangan ditunda-tunda."

"Iya, lagipula kelihatannya lukanya juga tidak separah itu, kok sampai memaksa orang minta maaf."

Arjuna menatapku dengan dingin tanpa berkata apa-apa, lalu menggendong Maharani dan meninggalkan restoran.

Begitu mereka pergi, kerumunan pun perlahan bubar.

Aku tersenyum pada pria yang baru saja menolongku. "Terima kasih, Pak. Maaf, apakah Anda Dokter Yusuf?"

Yusuf mengangguk. "Benar, saya. Dokter Yanto sudah menceritakan kondisi kamu pada saya."

Aku tertegun. "Bagaimana Bapak bisa tahu..."

"Beberapa tahun ini saya fokus meneliti penyakit ini. Karena sudah terlalu sering melihatnya, saya bisa langsung mengenalinya," kata Yusuf sambil menunjuk matanya. Di balik kacamata berbingkai logam itu, sepasang matanya seolah memiliki ketajaman yang mampu menembus segalanya.

Aku tersenyum pahit, hatiku terasa berat. "Sepertinya penyakit saya sudah sangat parah."

Yusuf tersenyum ramah. "Kalau mau sembuh, hal pertama yang harus dilakukan adalah menerima penyakitmu."

"Jaga suasana hatimu. Di pusat penelitian kami, ada banyak juga kasus yang berhasil sembuh total."

Dia melirik jam tangannya, lalu dengan sopan berkata, "Saya hanya punya waktu setengah jam. Saya akan jelaskan secara singkat tentang obat baru yang sedang kami kembangkan."

Aku mengangguk setuju.

Yusuf sangat profesional, seluruh dirinya memancarkan ketelitian dan keseriusan seorang peneliti. Dia menjelaskan kelebihan dan efek samping dari obat target baru yang mereka kembangkan, lalu memberikan beberapa saran berdasarkan kondisiku.

Aku sudah punya gambaran, tapi masih sedikit ragu. "Dokter Yusuf, saya bisa memulai pengobatan kapan saja, hanya saja... saat ini uang saya tidak banyak. Saya tidak tahu apakah bisa menanggung biayanya."

Yusuf membetulkan letak kacamatanya, lalu berkata dengan serius, "Biaya untuk operasi awal sudah cukup. Tapi setelah itu masih ada pengobatan jangka panjang dengan obat-obatan, jadi biayanya perlu disiapkan dari sekarang."

"Tapi tidak apa-apa. Pusat penelitian kami juga sedang merekrut relawan untuk uji klinis obat. Kalau memang benar-benar tidak ada jalan lain, saya bisa bantu kamu mendaftarkan diri."

Aku bergegas mengucapkan terima kasih.

Sebuah obat yang sudah sampai pada tahap uji coba pada manusia pada dasarnya sudah hampir berhasil dikembangkan, efek sampingnya tidak akan terlalu banyak.

Terlebih lagi, menjadi relawan uji coba obat punya persyaratan kondisi tubuh yang ketat. Orang sehat saja belum tentu memenuhi syarat, apalagi aku yang sudah stadium akhir.

Hati seorang dokter memang mulia. Mungkin Dokter Yusuf merasa kasihan padaku, karena itulah dia mau membantuku.

Setelah memastikan bahwa besok aku akan mulai dirawat di rumah sakit untuk persiapan operasi, aku pun berpamitan dengan Dokter Yusuf untuk pulang.

Seperti kata Dokter Yusuf, istirahat dan suasana hati yang baik adalah pengobatan terbaik.

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya